Santri Futuhiyyah
Sebentar
lagi Indonesia punya hajat demokrasi berupa pemilihan kepala daerah serentak
pada tahun 2018, tepatnya hari Rabu Pon
tanggal 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang akan menggelar Pilkada serentak baik
untuk gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Persoalannya
adalah dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada serentak, sudahkah rakyat
yang memiliki hak pilih tahu siapa calon pemimpin daerah yang akan mereka
percaya dan amanati selama 5 tahun ke depan ? Masalah klasik kita, orang awam,
dalam memilih pemimpin seperti presiden, gubernur, dan bupati, adalah tidak
mengenal mereka secara dekat.
Kita
rabun terhadap kepribadian dan perilaku mereka sehari-hari. Kita ibarat memilih
kucing dalam karung. Tak tahu wujud rupanya, memilih sedapatnya. Dengan berkembangnya
media massa dan media sosial mungkin masalah itu sedikit teratasi. Kita bisa
melihat dan menilai figur calon pemimpin melalui siaran media.
Tetapi
di era di mana media dikapitalisasi oleh sekelompok orang yang berafiliasi
dengan partai politik, penggambaran media terhadap tokoh tertentu tidak bisa
menjadi pegangan. Pasalnya, seringkali media sengaja mencitrakan tokoh tertentu
sebagai calon pemimpin yang ideal, ternyata tokoh tersebut merupakan kader
partai pemilik media. Atau sebaliknya, kerap kali media menggambarkan figur
tertentu sebagai orang dengan integritas rendah, ternyata tokoh tersebut adalah
lawan politik si pemilik media.
Kalau
berimbang sih tak masalah, yang jadi masalah adalah mereka tidak mengamalkan
apa yang disebut "cover both side". Kepada kadernya, media
menampilkan yang baik-baik saja. Mereka poles agar seolah-olah kadernya adalah
benar-benar calon pemimpin ideal. Tetapi kepada lawan politiknya, yang
ditampilkan yang buruk-buruk terus. Tujuannya agar publik menilai bahwa calon
tersebut bukanlah calon ideal.
Lalu
melalui apa/siapa orang awam bisa mengenali calon pemimpinnya?
Di
tengah kehidupan yang penuh dengan kepalsuan (atau pencitraan kalau dalam
terminologi politik), di mana yang kita anggap baik terkadang ternyata buruk
dan yang kita anggap buruk ternyata terkadang baik, satu-satunya yang bisa kita
lakukan, menurut anjuran Cak Nun, adalah melibatkan Tuhan dalam setiap proses
pemilihan.
Lain
dengan media, Tuhan senantiasa menuntun kita kepada kebaikan. Sebab apa-apa yang
baik, semua berasal dari Tuhan, sebaliknya, apa-apa yang buruk semua berasal
dari kita.
Tetapi
pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengimplementasikan anjuran Cak Nun,
menyertakan Tuhan dalam setiap proses pemilihan pemimpin?
Salah
satu ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan ndherek ulama atau kiai.
Saya
kira, di era sekarang kiai harus mengambil peran dalam dunia politik. Minimal,
mereka perlu mengenal dan menyeleksi satu (atau lebih) figur politik tertentu
untuk kemudian juga menjadi pilihan para santrinya.
Cara
ini saya kira cukup efektif karena relasi santri-kiai dipagari oleh ungkapan
"sami'na wa atho'na". Dalam tradisi pesantren, santri selalu memegang
prinsip bahwa apa pun yang dilakukan oleh kiai, adalah sesuatu yang benar. Atau
minimal mereka meyakini, bahwa kiai tidak mungkin menjerumuskan santrinya ke
dalam kesesatan.
Kiai
juga dipandang sebagai orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi dan
mempunyai kedekatan dengan Tuhan, sehingga setiap keputusan yang diambilnya
tentu sudah menyertakan Tuhan. Termasuk dalam hal memilih figur politik
tertentu.
Lalu
bagaimana bila antar satu kiai dengan kiai lain memiliki figur politik yang
berbeda?
Hal
itu bukanlah sesuatu yang perlu disesali, sebaliknya, justru perlu kita
syukuri. Artinya, figur-figur politik kita banyak yang didukung dan direstui
oleh orang yang punya tingkat spiritual tinggi.
Kalau
yang terjadi demikian, pilihan politik kita berarti lebih terbuka. Kita tinggal
ndherek kiai sesuai kemantapan hati. Saya kira, ndherek kiai (guru) kita lebih
etis secara moral.
Yang
perlu diingat dan kita sadari, kiai hanyalah berijtihad, berupaya dan setiap
ijtihad tidak bisa disalahkan. Sebab kalau keliru dinilai satu pahala, dan
kalau benar diganjar dua pahala. Artinya kalau kemudian figur politik pilihan
kiai kita ternyata bukanlah figur yang benar-benar berintegritas, kita tidak
bisa lantas menyalahkan kiai.
Memang
idealnya setiap orang harus melek politik, minimal mengenali figur politik.
Tetapi faktanya memang banyak yang tidak sempat ngurusi politik, karena kendala
akses, atau alasan lainnya. Nah, mereka-mereka yang awam inilah yang, ketimbang
asal pilih, lebi baik ikut pilihan kiai. Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar