Oleh Akhmad Arif Junaidi
Dekan Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, Alumni Futuhiyyah
Masalah utama dari kajian ini adalah mencari
akar, pola, dan fungsi keyakinan mengenai karamah kiai pesantren Futuhiyah
Mranggen Demak dan sejauh mana pergeseran mitologi yang terjadi di kalangan
masyarakat sejalan dengan perubahan masyarakat di era modern ini. Kajian ini
merupakan kajian lapangan. Paradigma yang digunakan adalah kualitatif karena
kajian ini berupaya menemukan makna. Adapun penemuan dari kajian ini adalah
bahwa kehidupan kiai di pesantren Futuhiyah Mranggen juga diliputi mitos kiai,
dalam makna keyakinan bahwa kiai memiliki karamah.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan sebuah pesantren bukan hanya
ditentukan oleh sejauh mana penguasaan kiai pengasuhnya atas ilmu-ilmu
keislaman, melainkan juga oleh seberapa besar kharisma yang dimilikinya.
Ketinggian kharisma seorang kiai biasanya banyak bersumber dari mitos-mitos kekiaian. Mitos kekiaian yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan yang
menyatakan bahwa seorang kiai memiliki karāmah, taraf spiritualitas yang sangat
tinggi dan memungkinkannya dapat melakukan sesuatu yang luar biasa serta mampu
melampaui pengalaman manusia pada umumnya.
Setidak-tidaknya itulah gambaran awal yang bisa
dibaca dari Pesantren Futuhiyyah, sebuah pesantren yang terletak tidak jauh
dari pasar Mranggen, sebuah pasar di kota kecamatan dalam wilayah administratif
Kabupaten Demak yang terletak di sebelah timur Kota Semarang. Pesantren ini
didirikan pada awal abad ke-20 oleh seorang ulama setempat yang bernama K.H.
Abdurrahman bin Qashid al-Haqq, salah seorang murid dari guru kenamaan Tarekat
Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, K.H. Ibrahim Yahya dari Brum-bung.
Pesantren
yang semula hanya berupa mushalla kecil ini pun berkembang pesat ketika
anak-anak K.H. Abdurrahman, yaitu K.H. Utsman, K.H. Muslih, K.H. Murodi dan
K.H. Ahmad Muthohar, telah beranjak dewasa dan ikut membantu pengembangan
pesantren setelah beberapa tahun sebelum-nya menimba ilmu di beberapa pesantren
di Jawa dan di Makkah, Saudi Arabia.
Pesantren Futuhiyyah kemudian berkembang menjadi
pesantren induk dari beberapa pesantren cabang yang ada di sekitarnya. Ada lima
pesantren cabang yang berada di bawah naungan Pesantren Futuhiyyah, yaitu
Pesantren Al-Mubarok, Pesantren Al-Amin, Pesantren Al-Nur, Pesantren K.H.
Murodi dan Pesantren Raudlah al-Tholibin. Di samping lima pesantren cabang ini,
masih ada satu lagi pesantren cabang yang berada di Lampung, Sumatera.
Pesantren yang semula hanya dihuni beberapa
orang santri ini pun menjadi tempat tujuan belajar bagi ribuan santri dari
hampir seluruh pelosok Indonesia. Bahkan, ada beberapa santri yang berasal dari
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunai Darussalam juga ikut menetap
di pe-santren tersebut. Pesantren ini bertambah “kebanjiran” peminat setelah
dibukanya sekolah-sekolah umum di dalamnya.
Perkembangan Pesantren Futuhiyyah yang
sedemikian pesat tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari figur para kiai
pendiri dan pengasuh pesantren tersebut. Para kiai pendiri dan pengasuh
pesantren tersebut bukan hanya dikenal sebagai figur yang memiliki kedalaman
dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang mumpuni, melainkan juga dikenal
memiliki karāmah, yaitu sebuah kepercayaan mitologis yang menyatakan bahwa
seseorang memiliki taraf spiritualitas yang sangat tinggi yang memungkinkannya
dapat melakukan sesuatu yang luar biasa dan mampu melampaui pengalaman manusia
pada umumnya.
Kalangan Pesantren Futuhiyyah mempercayai bahwa
K.H. Abdur-rahman, pendiri dan generasi pertama pengasuh pesantren tersebut,
memiliki karāmah yang luar biasa. Sebagai murid kesayangan K.H. Ibrahim dari
Brumbung, dia dianggap mewarisi sepenuhnya karāmah yang dimiliki guru-nya.
Dalam sebuah pendadaran, semacam ujian spiritual yang harus dilalui setiap
murid, K.H. Abdurrahman menjadi satu-satunya santri yang lulus ujian tersebut.
Dia mampu menaklukkan seekor ular besar jadi-jadian (daden-daden) yang mengamuk
di masjid tempat di mana ujian pendadaran tersebut dilaksanakan. Kemampuannya
untuk lolos dalam ujian pendadaran inilah yang membuat sang guru mengangkatnya
sebagai murshid tarekat Qadiriy-yah wa Naqsyabandiyyah.
Kalangan pesantren Futuhiyyah juga mempercayai
bahwa para kiai generasi kedua pengasuh pesantren, yang tidak lain adalah
anak-anak K.H. Abdurrahman, juga memiliki karāmah. K.H. Muslih, salah seorang
anak K.H. Abdurrahman, memiliki banyak karāmah yang jarang dimiliki oleh orang
lain. Kiai yang menjadi guru kenamaan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini
konon pernah bertemu dengan—atau ditemui oleh—Nabi Khidzir, seorang nabi yang
dalam kalangan Muslim tradisional dipercayai masih hidup hingga sekarang. K.H.
Muslih juga memiliki karāmah yang lain, berupa ke-mampuan untuk menundukkan
kesaktian orang lain.
Karāmah tersebut ditunjukkannya
ketika pada masa perang kemerdekaan, ada seorang perempuan sakti yang
melakukan kegiatan spionase untuk kepentingan militer Belanda. Atas
perintahnya, perempuan sakti yang konon kebal senjata ter-sebut akhirnya dengan
mudah disembelih.
Karāmah juga dimiliki oleh kiai lain di
lingkungan Pesantren Futuhiyyah. K.H. Utsman, kakak kandung K.H. Muslih, konon
mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan mengeluarkan semburan api dari dalam
surban yang selalu dipakainya. Dia juga dikabarkan memiliki kemampuan bela diri
pencak silat pada tataran yang sangat tinggi.
Sementara K.H. Murodi, adik
kandung K.H. Muslih, dikabarkan mampu menundukkan jin dan makhluk halus
lainnya. Dia juga dikabarkan telah berhasil melampaui jadhab, sebuah proses
spiritual untuk masuk dalam tataran kewalian, sebanyak sembilan kali. Pada
saat jadhab ini, kiai tersebut dikabarkan mampu memahami bahasa dan perilaku
binatang.
Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi di
era modern dalam konteks kekinian, terjadi fenomena pergeseran mitos kekiaian
di Pesantren Futuhiyyah. Meski kalangan pesantren tersebut masih mempercayai
bahwa para kiai pengasuh pesantren generasi ketiga yang saat ini mengasuh
pesantren juga memiliki banyak karāmah, namun terdapat perbedaan pola-pola karāmah
yang dimiliki oleh para kiai pengasuh pesantren tersebut.
Bila karāmah yang
dimiliki oleh para kiai generasi pertama dan kedua lebih banyak mengacu pada
kemampuan-kemampuan supranatural untuk mengalahkan lawan-lawan yang
menghalangi aktivitas dakwah mereka, maka kemampuan para kiai generasi saat ini
lebih banyak mengacu pada kemampuan penguasaan ilmu-ilmu keislaman dan
perolehan rezeki.
Beberapa kiai pengasuh pesantren generasi ketiga
yang saat ini mengasuh pesantren tersebut dipercaya memiliki karāmah berupa
ilmu laduni, yaitu sebuah kemampuan untuk menguasai semua disiplin ilmu-ilmu
keislaman tanpa melalui proses pembelajaran. Meski hanya beberapa tahun saja
belajar di pesantren, mereka diyakini mampu menguasai ilmu nahwu, sharaf,
tafsir, hadits, tauhid, fiqh dan disiplin-disiplin ilmu keislaman lainnya.
Sementara beberapa kiai yang lain dipercaya mampu memperoleh rezeki yang cukup
berlimpah meski secara lahiriah tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak satupun
dari kalangan kiai pengasuh pesantren pada generasi ketiga ini yang dipercaya
memiliki karāmah berupa pengalaman yang luar biasa atau kesaktian yang
membuatnya mampu menundukkan lawan-lawannya.
Mitologi
di kalangan Pesantren Futuhiyyah ini, dengan berbagai fenomena pergeserannya,
tentu memiliki akar-akar kemunculan, pola-pola atau bentuk dan fungsi-fungsi
sosialnya sendiri. Pada titik inilah penulis melihat bahwa fenomena pergeseran
mitologi ini sangat menarik untuk diteliti.
*tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Walisongo, Volume 19, Nomor 2, November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar