Terasing
Pada pilar tua yang tegak
Aku mencipta untaian sajak
Tentang racun semacam sihir
Begitu merekah, mataku mengalir
Sekilas mata mencerna kata-kata
Bagaimana anak kalimat bisa tertata
Sesobek kertas usang menjadi saksi
Perihal kata-kata yang tertata rapi
Sesekali merpati singgah menemani
Ketika musim di mataku sedang semi
Namun merpati hilang mengabur
Ketika musim di dadaku sedang gugur
Musim di mataku menjelma hujan
Sajakku menjadi bulan-bulanan hujan
Sajakku menjadi bangkai kenangan
Yang terapung di antara genangan
Aku dan sajakku, mungkin tak lagi
rindu
Sebab hujan tak izinkan saling
berpadu
Kata per kata dipisahkan langit yang
berkaca-kaca
Sementara mataku sayup-sayup
memandanginya
Aku dan merpati, mungkin tak lagi
temu
Sebab langit lebih memilih merpati
berlalu
Mengibas-ngibaskan sayap lalu hilang
Sementara aku masih menunggunya
datang
Jika sajakku tak tercipta lagi
dan merpati tak lekas kembali
Biarkan langit-langit dadaku gugur
dengan batu nisan yang terbujur
Salah
Kopi
Pada sebuah kafe, kau bertanya
padaku,
"Kopi apa yang paling nikmat di
bibirmu?"
Sembari menenggak kopi, aku
menjawabmu,
"Kopi yang tidak bercampur
dengan air matamu"
Kemudian kau bangkit dari kursi dan
berlalu
Sebuah Jendela Sepi
Aku terhempas diatas awan kelabu
Menyusut diantara langit biru
Aku pikir, aku sedang rindu
Aku pikir, angin ikut memburu
Ternyata sepi sedang menguburku
Dari sudut kaca jendela
Pertanyaan menghantui kepala
Apa benar aku penghuni ruang hampa?
Jika iya, mengapa harus di iringi
duka?
Bukankah setiap kepala berhak
mendamba?
Tak ada kata
pada semesta
Tak ada janji
pada awan suci
Tak ada waktu
pada kedua mataku
yang tak mati-mati
meski ditusuk-tusuk sepi
Aku pun ingin berkemas dan lari
Pada pertanyaan nan mengusik memori
Ibaratnya sebuah hari tanpa matahari
Mustahil memang, namun kuasa terjadi
Bisa-bisa kegilaan menimpa jiwaku
ini!
Barangkali itu suratan takdir
Tiap goresan senantiasa terukir
Biarpun rongga mulut tergelincir
Biarpun akal sejengkal mencibir
Sebab akan gugur masa surat itu
berakhir
Kau Pantas Pulang
Pada akhirnya ruh orang-orang
khusyuk dalam perjalanan panjang
Mengulang-ulang doa yang kumandang
untuk menebus dosa, semoga lekas
hilang
Hingga Tuhan bersabda; kau pantas
pulang
Siklus
Cinta
Pada sebuah pertemuan,
menyisakan benci dalam perpisahan
Pada sebuah perpisahan,
menyisakan rindu dalam pertemuan
*Abdul Chanan Slamet, santri Ponpes Futuhiyyah penikmat kopi dan puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar