Oleh Akhmad Arif Junaidi
Dekan Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, ALumni Futuhiyyah
Akar, Pola dan Fungsi Mitologi
Sebagaimana yang berkembang di kalangan
pesantren lainnya, mitos yang berkembang di kalangan Pesantren Futuhiyyah
mengemuka melalui cerita lisan (oral history). Sebagian dari cerita lisan
tersebut berhasil ditulis, namun selebihnya tetap menjadi cerita yang
turun-temurun tersebar dalam komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Mitos-mitos tentang kiai dalam komunitas Pesantren Futuhiyyah muncul di
antaranya dengan cara: pertama, penyaksian langsung oleh santri atau orang
dekat kiai terhadap kehebatan kiai. Penyaksian secara langsung ini biasanya
terkait dengan kesaktian kiai (karāmah) yang mampu menundukkan lawan-lawan yang
senantiasa mengganggu eksistensi pesantren, perjumpaan dengan Nabi Khidlir,
para wali, dan mampu berkomunikasi dengan arwah orang mati yang dikehendaki.
Sumber dari mitos model ini adalah para “saksi”—baik para santri maupun
keluarga dekat kiai—dalam komunitas Pesantren Futuhiyyah yang menceritakan
kesaktian para pendahulunya kepada para santri Pesantren Futuhiyyah dan
masyarakat sekitarnya pada generasi berikutnya.
Bagaimanapun, pengamatan dan analisa santri
terhadap kiainya menghasilkan kesimpulan tertentu tentang
kelebihan-kelebihannya. Mitos semacam ini terkait dengan kedalaman ilmu kiai
yang tidak bisa dinalar oleh santri. Dalam situasi semacam itu muncullah dugaan
bahwa kiainya mem-punyai ilmu laduni misalnya, sebuah pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui proses pembelajaran.
Dugaan ini kemudian diperkuat
oleh cerita-cerita mengenai cara perolehan ilmu laduni tersebut. K.H. Ahmad
Mutohar misalnya, diceritakan bahwa semasa mudanya tidak begitu ‘alim, namun
setelah mimpi bertemu ayahnya yang telah wafat, K.H. Abdul Rahman bin Qashid
al-Haq, kemudian ia berubah menjadi sangat luar biasa ‘alim. Begitu juga dengan
K.H. Lutfil Hakim, putra sulung K.H. Muslih Abdul Rahman, yang menampakkan
keluarbiasaan dalam ke’alimannya setelah kiai muda tersebut jatuh dari sepeda
motor.
Mitos tentang kemampuan menguasai ilmu-ilmu
keislaman tanpa melalui proses pembelajaran (ilmu laduni) biasanya disandarkan
kepada para kiai yang memiliki basis ilmu keislaman yang sangat kuat. Meski
kebanyakan memiliki penguasaan ilmu-ilmu keislaman dasar yang memadai, namun di
antara mereka ada yang memiliki spesifikasi keilmuan di bidang tertentu,
misalnya tafsir al-Qur’an, hadits, gramatika bahasa atau ilmu alat (naḥwu, ṣaraf)
dan lain-lain.
Mereka yang memiliki spesifikasi di bidang keilmuan tertentu
inilah yang biasanya dimitoskan sebagai kiai yang memiliki ilmu laduni. Di tengah kesibukan mengajar, seorang kiai yang
memiliki kemampuan untuk menerjemahkan kitab, memberikan syarah, mengarang
nadzam dan lainnya sudah barang tentu membuat para santri terkagum-kagum dengan
kemampuan dan luasnya pengetahuan yang dimiliki oleh kiainya.
Dalam benak
mereka, membaca dan memahami kitab saja masih di pandang sulit, apalagi sampai
memiliki kemampuan untuk menulis kitab, membuat nadzam, memberikan syarah dan
lain sebagainya. Dalam kenyatannya memang banyak sekali hasil terjemahan,
syarah, dan karangan kitab yang ditulis oleh para kiai Pesantren Futuhiyyah
yang tersebar di hampir seluruh pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal
inilah yang menyebabkan para santri menyimpulkan bahwa kiainya mempunyai ilmu
laduni.
Pemahaman ini biasanya dikemukakan oleh santri
senior atau ustadz yang bisa mengukur kedalaman ilmu kiainya. Begitu dalam ilmu
tersebut sehingga
sang ustadz mengasumsikan kiainya itu mempunyai ilmu laduni. Hal ini kemudian
diceritakan pada para santri lain dan berkembang menjadi keyakinan bersama.
Keyakinan ini pada akhirnya semakin meneguhkan keyakinan santri atas otoritas
keilmuan kiainya tersebut.
Mitos juga muncul ketika para kiai secara kasat
mata dipandang tidak memiliki sumber perekonomian yang jelas, akan tetapi pada
kenyatannya mereka mampu menunjukkan eksistensi sosial-ekonominya dalam
masyarakat sebagaimana kemampuan yang dimiliki oleh para saudagar, pedagang,
tuan tanah dan kelompok kelas elit lainnya.
Eksistensi tersebut terlihat ketika
secara nyata para kiai diberikan kemampuan untuk menunaikan ibadah haji secara
terus menerus, membangun pesantren, membeli mobil, memiliki kekayaan yang cukup
dan sebagainya. Dalam konteks demikian ini, maka muncul dugaan bahwa kiai
tersebut dipandang mempunyai keistimewaan berupa maqam tajrid, yakni suatu
derajat, status atau keistimewaan dari Allah, bahwa seseorang tercukupi
kebutuhan duniawiyahnya tanpa melalui bekerja (kebalikannya adalah maqam
kasbi) sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Bagaimanapun, mengikuti Bronislaw Malinowski,
mitos kekiyaian di Pesantren Futuhiyyah tersebut merupakan realitas sosial yang
juga memiliki kepentingan sosial. Artinya, mitos dapat menciptakan legitimasi
atau memberikan landasan-landasan keabsahan bagi upaya-upaya mengatur
masyarakat. Karena harus diakui bahwa kiai-kiai pesantren yang menjadi
sandaran mitos tersebut mendapatkan tambahan legitimasi dan keabsahan bagi
upaya-upaya mengatur santri yang berada di bawah asuhannya dan konteks
masyarakat di sekitarnya, bahkan lebih luas lagi bagi masyarakat luas pada
umumnya.
Kiai-kiai yang dimitoskan akan lebih banyak dihormati dan ditaati
dibanding kiai-kiai yang tidak berselimut mitos. Kiai-kiai yang dimitoskan juga
akan lebih mudah menarik minat belajar santri dibanding kiai-kiai yang tidak
dimitoskan.
Kiai-kiai yang dimitoskan akan banyak memiliki
daya tarik yang luar biasa. Namun demikian, mitologi kekiaian sama sekali tidak
dikaitkan sebagai sebuah perilaku pamer (riyā’/ ‘ujub) atas berbagai kelebihan
yang dimiliki oleh kiai.
Dalam komunitas pesantren, termasuk
Pesantren Futuhiyyah, berbagai hal yang istimewa dalam diri kiai memang
dikonsumsi dan diyakini adanya oleh santri, namun hal ini bukan bentuk dari
ketakaburan kiai. Dalam tradisi pesantren juga tidak ada anggapan bahwa kiai
sengaja menceritakan kelebihannya agar memperoleh kehormatan.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa mitos di
Pesantren Futuhiyyah mempunyai akar, pola, dan fungsi yang jelas. Berbagai
ke-karāmah-an kiai menjadi bagian dari modal sosial seorang kiai dalam
mengembangkan dan mempertahankan pesantren. Tanpa modal sosial semacam ini,
maka pondok pesantren bisa dikatakan akan gulung tikar. Justru berbagai mitos
di atas dalam perspektif antropologis merupakan bagian yang tidak dipisahkan
dari komunitas pesantren.
Karenanya, secara faktual hal ini tidak mungkin
hilang dari komunitas pesantren, mengingat apa yang diajarkan masih didasarkan
pada pemahaman normatif yang sangat kental atas teks-teks keagamaan klasik.
Pada akhirnya dalam diri santri dan masyarakat sekitar pesantren akan terbentuk
mind set-nya sendiri akibat dari internalisasi ajaran yang kemudian melahirkan
perilaku sosial untuk memberikan penghormatan kepada kiai dengan berbagai
kelebihan yang dimilikinya.
Dalam perpesktif antropologis, inilah yang kemudian
melahirkan mitos-mitos kekiaian. Menurut Amri Marzali, dalam teori antropologi,
objek kajiannya bukan semata-mata tentang fenomena material saja, tetapi
tentang cara bagaimana fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind).
Budaya (termasuk di dalamnya budaya di pesantren yang penuh dengan nuansa
supranatural/ mistis) itu ada dalam pikiran (mind) manusia dan bentuknya adalah
organisasi pikiran tentang fenomena material.
Dalam perspektif yang dikemukakan Berton
kaitannya dengan teori fungi, mitologi di Pesantren Futuhiyyah mempunyai dua
fungsi, yakni fungsi manifes (fungsi tampak) dan fungsi laten (fungsi
terselubung). Fungsi manifes merupakan konsekuensi objektif yang memberikan
sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari
oleh partisipan sistem tersebut. Sebaliknya fungsi laten
merupakan konsekuensi objektif dari suatu ikhwal budaya yang tidak dikehendaki
maupun disadari oleh komunitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar