Oleh Akhmad Arif Junaidi
Dekan Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, Alumni Futuhiyyah
Pergeseran Mitologi di Pesantren Futuhiyyah
Perubahan yang mengarah pada terbentuknya
realitas dan perilaku yang relatif berbeda dengan sebelumnya merupakan
perluasan dari tipologi baru kehidupan kiai pesantren. Karena dalam konteks
saat ini, hampir seluruh kehidupan pesantren—baik kiai, keluarga, santri,
sistem pendidikan, masyarakat sekitar pesantren maupun persepsi masyarakat pada
umumnya—mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan pergeseran dan
perubahan jaman.
Sangat sulit menemukan adanya realitas dan perilaku kehidupan
pesantren yang dipertahankan secara utuh, ajeg (tetap)–sebagaimana perilaku
dan realitas para pendahulunya atau bahkan para pendirinya (founding fathers).
Pergeseran mitologi di Pesantren Futuhiyyah
terjadi pada kehidupan kiai generasi ketiga. Pada generasi pertama dan kedua,
mitologi yang berkembang lebih kompleks yang menyangkut berbagai ke-karāmah-an
kiai dalam berbagai bentuknya, dari mulai kedalaman ilmu, kesaktian, ke-mampuan
menaklukkan jin, perjumpaan dengan Nabi Khidhir, keberkahan, dan ketinggian
derajat spiritual sebagai murshid Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah.
Sementara pada generasi ketiga, mitos yang berkembang semakin mengerucut pada
aspek keilmuan, keberkahan, dan kemudahan memperoleh rejeki. Dua aspek pertama
merupakan modal utama berdiri kokohnya pesantren, sedangkan aspek yang terakhir
adalah keistimewaan kiai yang dinilai tinggi ketakwaannya sehingga dipermudah
jalan rejekinya.
Aspek kedalaman ilmu dan keberkahan hidup menjadi mitos yang
tidak tergoyahkan dalam lingkup Pesantren Futuhiyyah. Religiusitas tidak akan
nampak menjadi perekat yang dahsyat antara santri dan kiai jika mitos tentang
ketinggian keilmuan kiai dan sebagai agen penyaluran keberkahan dari Allah
tidak lagi ada.
Memudarnya
mitos kesaktian, kemampuan menaklukkan jin, kemampuan bertemu dengan Nabi
Khidlir, berkomunikasi dengan realitas non-fisik dan lain-lainnya yang melekat
pada kiai generasi pertama dan kedua adalah efek pergeseran dari dunia mitis
kepada dunia modernitas. Dalam dunia modern, arus komunikasi global sedemikian
deras sehingga tidak lagi ada sumber pengetahuan yang sifatnya tunggal.
Kiai
tidak lagi menjadi satu-satunya sumber “kebenaran” bagi santri, karena semakin
banyaknya sumber-sumber “kebenaran” yang lain, seperti koran, radio, TV dan
perangkat-perangkat canggih lainnya. Hal ini tentu berakibat pada pergeseran
nilai-nilai yang dianut dunia pesantren. Di samping itu, dalam konteks
kemodernan, tantangan yang dihadapi dunia pesantren relatif berbeda.
Kiai
relatif tidak mengalami kendala dari sisi keamanan sehingga ia tidak perlu
menggunakan “mitos kesaktian”-nya untuk menaklukkan bajingan dan preman yang
mengganggu eksistensi pesantren. Kiai saat ini juga tidak dihadapkan pada upaya
perlawanan terhadap penjajah Belanda dan pemberontakan PKI yang mengharuskan
dan mengkondisikan munculnya mitos-mitos kesaktian.
Mitos kesaktian dan ke-karāmah-an kiai yang
berkaitan dengan kemampuan menaklukkan makhluk halus lambat laun hilang dari
kiai generasi ketiga. Meskipun para santri dan masyarakat meyakini bahwa kiai
generasi ketiga ini mempunyai kesaktian dan kemampuan supranatural lainnya, namun
karena kondisi sosio-kultural masyarakat dipandang sudah stabil, maka kesaktian
tersebut tidak pernah lagi mengemuka secara kasat mata.
Hal ini berbeda dengan
generasi pertama dan kedua, di mana kesaktian dan ke-karāmah-an kiai
terejawantahkan secara nyata dan banyak kalangan santri yang menjadi “saksi”
atas peristiwa-peristiwa adikodrati tersebut. Kalangan santri yang menjadi
“saksi” inilah yang menjadi agen-agen yang cukup efektif bagi upaya diseminasi
kepercayaan-kepercayaan akan karāmah kepada generasi selanjutnya.
Lambat laun, karena kesaktian dan kemampuan
supranatural tidak terdeteksi oleh publik secara kasat mata, maka mitos tentang
kesaktian dan ke-karāmah-an kiai menjadi menipis dan jarang dibicarakan. Tidak
jarang pergeseran mitologi justru terjadi dari kiai sebagai pemilik karāmah
menuju kiai sebagai agen modernisasi.
Kiai yang sebelumnya diyakini memiliki
kekuatan karāmah bergeser menjadi penikmat pertama perangkat-perangkat
tehnologi di kalangan pesantren. Jika zaman dulu kiai dipercaya mampu berkomunikasi
dengan kiai lain dengan kekuatan supranatural (telepati), maka dalam konteks
sekarang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang
semakin pesat, pola komunikasi tergantikan dengan alat/media telepon, handphone
bahkan melalui internet.
Jika dulu kiai mampu menaklukkan preman dan begundal
jalanan, maka sekarang ini sudah ada aparat kepolisian yang bertugas
menanganinya, dan seterusnya. Menipisnya mitos kesaktian juga terkait dengan
perkembangan konteks sosial yang lebih modern di mana kiai dan santri juga
mengikutinya.
Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa jika dulu santri
dibekali kiai dengan berbagai ijazah hizib (berbentuk mantra berbahasa Arab
dengan tirakat atau lakon-lakon tertentu) yang dipercaya mempunyai kekuatan
mistis dahsyat untuk pegangan hidup, maka sekarang santri dibekali ijazah
formal pendikan berdasar tingkatannya, misalnya ijazah MA/SMA/SMK yang dapat
diperguna-kan untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi (PT); jika dulu kiai
menekankan agar santri rajin berpuasa dan dzikir siang malam dengan bilangan
mencapai ribuan, maka kiai sekarang menekankan penguasaan bahasa asing, rumus
matematika, internet, komputer demi lulus Ujian Akhir Nasional (UAN).
Bila
santri dulu giat merangkai rajah dengan menuliskannya untuk azimat dan
pengobatan, maka santri sekarang lebih menekankan untuk merangkai mesin
otomotif serta merangkai benang untuk menjahit dan membordir dan seterusnya.
Kesimpulan
Bisa dikatakan bahwa telah terjadi pergeseran
mitologi di Pesantren Futuhiyyah sebagai akibat langsung dari derasnya arus
modernisasi yang pada gilirannya telah mengakibatkan terjadinya pergeseran
nilai-nilai yang dianut oleh komunitas pesantren tersebut. Pergeseran nilai
tersebut berimplikasi pada terjadinya pergeseran paradigma pemikiran dari yang
mitis menuju yang lebih rasional.
Pergeseran paradigma pemikiran tersebut
mengakibatkan terjadinya pemudaran mitos-mitos yang selama ini begitu kuat
membalut kehidupan pesantren tersebut. Meski demikian, hal tersebut bukan berarti
tidak lagi ada mitologi di kalangan pesantren tersebut. Hal ini karena mitos
tidak akan pernah lepas dari kehidupan pesantren, dan bahkan kehidupan manusia
pada umumnya.
Dalam analisis Kuntowijoyo disebutkan, mitos akan selalu ada dan
bermetamorfosis sesuai dengan konteks dan zamannya. Pada periode mitos kehidupan manusia dipenuhi dengan berbagai mitos yang dahsyat (abad ke-19-20).
Pada abad ke-21 ini periode mitos sudah berakhir, namun harus diakui bahwa
mitos masih tetap dihidupkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar