Para
habib dan kiai hadir dalam majelis muwasholah yang digelar di Masjid
An-Nur Pondok Pesantren (Ponpes) Futuhiyyah Mranggen Demak pada Selasa (31/7)
sore waktu setempat. Majelis tersebut diisi dengan pengajian Kitab Al-Hikam
karya Ibnu Atho'illah As-Sakandari oleh Habib Umar bin Hafidz langsung dari
Yaman melalui percakapan langsung jarak jauh (telekonferensi).
Selain
habib dan kiai, majelis tersebut juga dihadiri ribuan santri dari Ponpes
Futuhiyyah, Nurul Burhany 1, Nurul Burhany 2, Al-Amin, Al-Mubarok, dan ponpes
lainnya. Masyarakat dari berbagai daerah juga turut memadati lokasi.
Pengasuh
Ponpes Futuhiyyah, KH. Muhammad Hanif Muslih yang juga tuan rumah dalam acara
tersebut menyampaikan terima kasih kepada hadirin.
"Kami
mengucapkan terima kasih pada majelis muwasholah, yang tiap tahun
menyelenggarakan pertemuan dengan para ulama yang kali ini diselenggarakan
dengan pengajian Al-Hikam bersama Habib Umar bin Hafidz," tuturnya.
Dalam
majelis tersebut Habib Muhammad Al-Junaid turut memberikan sambutan. Ia
menyampaikan bahwa kehadirannya adalah untuk mencari keberkahan pada majelis
ilmu.
"Ini
adalah warisan Nabi Muhammad yang harus kita lestarikan dan sampaikan pada
umat," ucapnya.
Ia
juga menegaskan bahwa kehadirannya tidak untuk memberi nasihat.
"Saya
sebenarnya tidak pantas berbicara di sini, saya hanya melaksanakan perintah
guru kita semua, Kiai Hanif Muslih," ujarnya dengan rendah hati.
"Saya
justru ingin mengambil ilmu dari para alim dan para kiai," lanjutnya.
Belajar ke Yaman
Sementara
itu, Habib Soleh Al-Jufri yang menjadi salah satu pembicara inti dalam majelis
tersebut mengingatkan eratnya hubungan Islam Indonesia dengan Islam Yaman.
Menurut
ulama asal Solo Jawa Tengah itu, keislaman orang Indonesia tidak bisa
dipisahkan dengan kiprah dan kontribusi ulama-ulama Yaman. Pasalnya, para Walisongo
yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut.
"Kakek
keenam Sunan Ampel itu orang Yaman," jelasnya.
Kitab-kitab
karya ulama Hadramaut juga banyak dikaji di pesantren.
"Sulam
Taufiq, Safinatun Najah, dan Bughyatul Mustarsyidin adalah beberapa
contoh kitab karya ulama Hadramaut yang dikaji di pesantren," jelasnya.
Karena
Islam kita dari Yaman, masih menurut Habib Sholeh, maka bila ada masalah
terkait gerakan keislaman di Indonesia, salah satu solusinya adalah dengan
belajar ke sana (Yaman).
"Ibarat
barang elektronik, maka kalau yang rusak merk sonny ya benerinnya di
pusat reparasi milik sonny," tamsilnya.
Dari
Yaman, Habib Umar bin Hafidz melalui telekonferensi menegaskan bahwa ulama
memiliki potensi besar dalam menjaga keamanan dan ketenangan umat.
Konflik
yang terjadi di berbagai tempat saat ini, menurutnya bisa diredam oleh ulama.
"Kewajiban
ulama adalah menjaga umat," tegasnya.
Ia
juga berpesan kepada para ulama agar tidak ikut berlomba-lomba dalam dunia
politik praktis. Menurutnya, banyak ulama di berbagai tempat yang dimanfaatkan
dan ditarik-tarik untuk kepentingan politik.
Jangan bergantung pada amal
Dalam
kesempatan itu Habib Umar bin Hafidz menjelaskan untaian hikmah dari kitab
Al-Hikam yang dibacakan oleh KH. Helmi Wafa.
Menjelaskan
untaian "min alamati al-i'timad ala al amal nuqshanu ar-rajai 'inda
wujudi az-zalali" Habib Umar berpesan bahwa kita tidak boleh tawakal
pada amal dan ubudiyah. Sebab itimad (bergantung) pada amal bisa
mengurangi itimad pada Allah.
"Bergantungnya
harus pada Allah, bukan pada amal," tuturnya.
Tanda-tanda
orang beritimad pada amal adalah merasa diri lebih baik dari orang lain.
Apabila
ia menginap bersama rombongan, lanjutnya, dan ia bangun lalu shalat malam,
sementara yang lain tidak melakukannya, ia merasa lebih baik daripada yang
lain.
Ia juga
berpesan kepada hadirin untuk tidak melihat orang lain dari luarnya saja.
"Sebab
bisa jadi orang yang secara lahir terlihat kotor, lusuh, dan terusir, ternyata
tiap kali berdoa dikabulkan, karena ia seorang wali," pungkasnya.
Di
penghujung acara Kia Hanif Muslih meminta ijazah wirid pada habib Umar agar
suasana di Indonesia yang panas selama kontestasi politik bisa dingin dan
terkendali.
Habib
pun menjawab permintaan itu. Ia mengijazahkan doa, "Robbana ighfir lana
dzunu bana wa ishrafana fi amrina wa tsabbit aqdaamana wanshurna ala al qoumi
al kafirin" dibaca seratus kali setiap hari.
"Qobilna,
(kami terima ijazahnya, red.)," jawab Kia Hanif.
Putra
Kiai Muslih itu juga berpesan pada hadirin untuk mengakui Habib Umar sebagai
gurunya meski hanya diajar selama lima menit dan melalui sambutan telekonferensi.
"Jangan
pernah lupa bahwa beliau guru kita. Sebab sahabat Ali pun menganggap guru pada
orang yang mengajarinya meski satu huruf, 'ana abdu man allama ni walau
harfan' (aku adalah hamba orang yang mengajariku meski hanya satu huruf,
red.)," pungkas Kiai Hanif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar