Oleh Moh.
Salapudin
Santri Pondok Pesantren Futuhiyyah
Indonesia sesungguhnya masih belum benar-benar aman dari ancaman
terorisme. Menurut data peringkat terorisme yang dirilis Institute of Economic and Peace di penghujung tahun 2015, Indonesia
menempati posisi ke-33 dari 162 negara. Indeks terorisme global Indonesia juga
berada pada angka 4,79 dengan skala rentang 10-0.
Tahun-tahun berikutnya tampaknya kita belum beranjak. Aksi baku tembak
di Sarinah dan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta)
Surakarta menjadi bukti bahwa tahun 2016 terorisme masih menghantui kita.
Demikian juga dengan Bom Kampung Melayu yang terjadi di tahun 2017. Bahkan di
medio awal tahun ini saja, sudah terjadi kurang lebih lima aksi terorisme. Yang
paling mencengangkan, pelaku melibatkan anaknya yang masih di bawah umur dalam
aksinya.
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi sedemikian bengis sehingga tega
membunuh sesamanya dengan cara yang sangat brutal?
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) embrio lahirnya
terorisme adalah radikalisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
radikalisme sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal
menurut BNPT, yaitu pertama intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan
keyakinan orang lain). Kedua fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap
orang lain salah). Ketiga eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya),
dan keempat revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan).
Di Indonesia sendiri, menurut analisis Iding Rosyidin (2017), kaum
radikalisme sudah muncul sejak era perjuangan. Mereka adalah kaum
tekstualis-radikal yang meminta dan memaksa agar Islam dimanifestasikan dalam
kehidupan politik. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.
Dalam pandangan mereka, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam adalah
jihad. Sehingga, orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka berarti
menghalangi cita-cita mereka dan karenanya halal darahnya. Di mata mereka,
serentetan kekejaman yang mereka lakukan adalah suatu ibadah yang kalaupun
mereka kemudian mati sudah ada bidadari yang menunggu mereka di surga.
Berseberangan dengan kelompok tekstualis-radikal, ada kelompok
kontekstualis-moderat yang meyakini bahwa Islam tidak harus dimanifestasikan
secara formal. Bagi kelompok ini, yang paling penting adalah implementasi
nilai-nilai Islam meskipun dalam bentuk sekuler. Sebuah negara, misalnya, tidak
harus Islam, tetapi sepanjang menegakkan hukum dan keadilan untuk semua, maka
negara tersebut “sudah Islam”. Dalam kelompok inilah, pesantren-pesantren,
terutama yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) berada.
Kaum pesantren melihat pola hubungan agama dan negara dengan apa yang
oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1998) disebut sebagai paradigma simbiotik.
Sebuah paradigma di mana agama dan negara diletakkan pada posisi yang memiliki
hubungan saling mengisi satu sama lain. Bukan paradigmaa integralistik yang
menjadikan agama dan negara menjadi satu entitas, atau paradigma sekularistik
yang menjadikan agama dan negara berdiri sendiri secara tegas dan dipisahkan
oleh garis demarkasi di mana yang satu tidak boleh mencampuri yang lainnya.
Pandangan
kenegaraan kaum pesantren
Pandangan kenegaraan kaum pesantren tersebut melahirkan sikap toleransi
yang di antaranya dibuktikan dengan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara
pada Musyawaah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur pada
tahun 1983. Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dilandasi pemahaman bahwa
dengan Pancasila, kapital sosial berupa keragaman agama, suku, ras, dan
golongan dapat terawat dengan baik (Helmi Faishal Zaini, 2017).
Bahkan salah satu klausul “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan
Islam” yang dirumuskan di Situbondo menyatakan bahwa penerimaan dan pengamalan
Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syari’at agamanya (NU On Line, 16/12/2015). Hal ini menunjukkan
bahwa para kiai pesantren memandang Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi bahkan memuat
nilai-nilai Islam itu sendiri.
Peran kiai pesantren
Corak keislaman yang moderat seperti ditampilkan oleh kalangan pesantren
tak lepas dari jasa para kiai. Para kiai, dengan karisma yang dimilikinya,
menanamkan ajaran Islam yang tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) kepada para santrinya.
Salah satunya adalah Kiai Ahmad
Shiddiq (1926-1991).
Dalam rangka membimbing umat agar senantiasa bersikap moderat dan
toleran, Kiai Ahmad Shiddiq merumuskan tiga model ukhuwah yang sangat terkenal, yaitu Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan
sesama umat Islam), Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan
sesama bangsa), dan Ukhuwah Basyariyyah (persaudaraan sesama
umat manusia).
Tiga konsep ukhuwah tersebut
antara satu dan yang lain harus berkait kelindan dan berjalan seayun seiringan.
Ukhuwah Basyariyyah menyasar konteks
hubungan antarsesama manusia; Ukhuwah
Wathaniyyah membidik persaudaraan atas dasar rasa kebangsaan; sementara Ukhuwah Islamiyyah dimaksudkan untuk mempererat persaudaraan berbasis keislaman (Helmi, 2018: 16).
Dengan mengamalkan tiga model ukhuwah
tersebut, seseorang tidak punya peluang dan alasan untuk menyakiti orang lain.
Sesama orang Islam tidak menyakiti satu sama lain karena terikat Ukhuwah Islamiyyah, sesama warga negara
tidak menyakiti satu sama lain karena terikat Ukhuwah Wathaniyyah, dan sesama manusia tidak menyakiti satu sama
lain karena terikat Ukhuwah Basyariyyah.
Islam moderat
Bila seperti disinggung di awal tulisan, bahwa asal muasal terjadinya
terorisme adalah paham radikalisme, maka upaya preventif yang dapat kita
lakukan adalah dengan mangarusutamakan paham-paham Islam yang moderat. Sebab
seseorang bertindak berdasarkan apa yang ada dalam pikirannya. Bila isi
kepalanya moderat, maka tindakannya pun moderat.
Itulah yang dilakukan kaum pesantren selama berabad-abad. Walhasil, peran
kaum pesantren dalam menangkal radikalisme melalui penyebaran paham-paham Islam
yang moderat tidak diragukan lagi. Bahkan saya mempunyai keyakinan, seandainya
orang-orang belajar agama Islam pada kiai-kiai pesantren, niscaya tidak ada
lagi teroris yang tega membunuh sesamanya dengan alasan agama. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar