Oleh Moh. Salapudin
Buku
ini berisi kumpulan artikel A. Helmy Faishal Zaini yang sebagian besar sudah
terpublikasi dalam media massa. Tema besar buku ini, seperti sudah menjadi
minat kajian Helmy, adalah isu-isu sosial-keagamaan. Dari tema besar tersebut,
bila penulis kerucutkan, ada setidaknya tiga topik utama yang diketengahkan
Helmy dalam buku ini, yakni relasi agama dan negara, fenomena radikalisme, dan
Islam Nusantara. Ketiga tema tersebut diulas dengan cara yang, meminjam istilah
Greg Fealy, dapat diakses dengan mudah oleh publik, tetapi juga tetap berakar
pada pengetahuan tradisionalisme Aswaja seperti yang ditemukan di pesantren
Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Indonesia.
Nasionalisme kaum santri
Bila
mengacu pada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, memang nasionalisme kaum
santri tidak perlu diragukan. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa “Kaum
Sarungan” mempunyai andil baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agus Sunyoto (2013)
menuturkan bahwa di era kolonial, selama kurun waktu satu abad, tahun
1800-1900, terdapat 112 pemberontakan yang dipimpin oleh para guru tarekat dan
pesantren.
Sejumlah
kiai dari pelbagai daerah, seperti KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang Jawa Timur,
KH. Zainal Mustofa dari Jawa Barat, KH. Wahab Chasbullah Jawa Timur, serta kiai
lainnya turut bertempur melawan penjajah sehingga tidak sedikit di antara
mereka yang kemudian mendekam di penjara dan bahkan gugur di medan perang.
Nasionalisme kaum santri yang sedemikian kokoh itu dibuktikan di antaranya
dengan lahirnya keputusan bahwa Indonesia adalah “daaru Islam” dalam
Muktamar ke-II NU di Banjarmasin pada tahun 1936.
Menurut
KH. Ahmad Shiddiq, kata “daaru Islam” dalam keputusan muktamar tersebut
bukanlah terminoloi yang dimaksudkan untuk merujuk pada istilah tatanan politik
kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang sesungguhnya lebih tepat
diartikan sebagai wilayatul Islam (wilayah Islam) (halaman 55).
Dengan
kesadaran bahwa Indonesia adalah wilayah Islam, tidak mengherankan kalau
kemudian KH. Hasyim Asy’ari yang oleh Sayyid Muhammad Asad Shihab, seorang
jurnalis dari Timur Tengah, disebut sebagai peletak batu pertama kemerdekaan
Indonesia (Wadhi’u Libinati Istiqlali Indonesia), mengeluarkan fatwa
“Resolusi Jihad” yang menyerukan bahwa melawan penjajah hukumnya wajib. Pendiri
NU tersebut bahkan menyerukan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman (hubbul
wathan minal iman).
Bagi
Helmy, diktum hubbul wathan minal iman yang dicetuskan oleh Hadratus Syaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari bukanlah konsep muluk-muluk yang lahir dari hasil
penelaahan teoretik serta kajian akademik tentang konsep berbangsa dan
bernegara. Diktum tersebut justru lahir dari nurani yang paling dalam yang
murni dan suci serta tulus dalam bingkai semangat mencintai negerinya sendiri
(halaman 54).
Lebih
jauh Sekjen PBNU ini mengatakan bahwa komitmen kebangsaan kaum santri yang
sedemikian kokoh itu tak lain karena keberhasilan kaum sarungan dalam
mendudukkan hubungan agama dan negara dalam paradigma simbiotik (halaman 45). Ada
tiga paradigma hubungan agama dan negara seperti diurai KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) (1998). Pertama, paradigma integralistik yang menjadikan agama dan
negara menjadi satu entitas. Hukum negara adalah hukum agama tersebut. Kedua,
paradigma sekularistik yang menjadikan agama dan negara berdiri sendiri secara
tegas dan dipisahkan oleh garis demarkasi di mana yang satu tidak diperbolehkan
mencampuri yang lainnya. Ketiga, paradigma simbiotik di mana agama dan negara
diletakkan pada posisi yang memiliki hubungan saling mengisi satu sama lain.
Nilai-nilai agama menjadi roh konstitusi dalam bernegara.
Mengikis Radikalisme
Analytical
and Capacity Development Partnership (ACDP) tahun 2015 bekerja sama dengan
Kementerian Agama mengeluarkan rilis hasil penelitiannya. Yang mengejutkan dari
penelitian tersebut terdapat sebuah fakta mengiris hati bahwa 30 persen sekolah
dasar hingga menengah di Indonesia sudah terpengaruh nilai-nilai radikalisme
(halaman 104).
Dalam
pandangan Helmy, merebaknya nilai-nilai radikalisme disebabkan oleh tiga faktor
utama (halaman 105). Pertama, hari ini kita masuk kepada apa yang disebut
sebagai masa “kemarau spiritualitas”. Agama, kata Helmy, menjadi kebutuhan
untuk bersandar di era postmodern yang semakin menjauhkan manusia dari
nilai-nilai yan dipercayai memiliki kekuatan transenden. Orang berduyun-duyun
dan riuh rendah dalam beragama.
Kedua,
situasi butuh terhadap ajaran agama sebagai “pelarian” itu tidak ditopang oleh
kontrol orangtua yang baik. Artinya, orangtua cenderung lalai dan abai dalam
mengawasi perkembangan paham keagamaan anak.
Ketiga,
kompetensi guru agama yang kurang mumpuni di sekolah menyebabkan murid beralih
mencari guru-guru pada kegiatan di luar pelajaran resmi. Lahirlah kegiatan
ekstrakurikuler yang belakangan dikenal dengan akronim Rohis (Rohani Islam).
Ketiga
penyebab itu pada akhirnya akan menyebabkan tiga kondisi turunan. Pertama,
tumbuh suburnya Rohis. Padahal menurut Anas Saidi (2015) Rohis menjadi pabrik
yang memproduksi tumbuh kembangnya benih-benih radikalisme. Kedua, di kalangan
kampus berkembang tren paham Khilafah Islamiyah dan gerakan yang
memiliki cita-cita untuk mengganti sistem kenegaraan. Ketiga, merebaknya
gerakan takfiri yang sesungguhnya apabila diamati dengan saksama merupakan
metamorfosis gerakan-gerakan kampus (halaman 106).
Fenomena
merebaknya radikalisme yang demikian memprihatinkan itu, menurut Helmy dapat
dikikis dengan pendidikan yang mengajarkan pentingnya semangat menghargai
perbedaan serta menjunjung tinggi toleransi atas nama penghargaan pada
kebinekaan. Menurutnya, melawan terorisme dengan mengangkat senjata bukanlah
jalan terbaik. Toleransi adalah kata kunci dalam memerangi terorisme saat ini
(halaman 124).
Dalam
Islam, pendidikan toleransi itu sangat kental diajarkan dalam disiplin ilmu
fikih. Semangat toleransi dan juga menghargai yang diajarkan dalam ilmu fikih
bukan saja untuk menghormati sesama manusia, tetapi lebih dari itu, juga
ditempatkan sebagai framework untuk menghargai seluruh makhluk di dunia ini,
mulai dari binatang, benda mati, sampai tumbuh-tumbuhan (halaman 125).
Islam Nusantara
Islam
dengan wawasan kebangsaan yang kokoh, tidak menyukai cara-cara radikal, dan
mengedepankan toleransi dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda keyakinan
adalah corak keislaman kaum santri atau yang dikenal dengan istilah “Islam
Nusantara”. Corak keislaman ini segaris dengan apa yang jelaskan Ibnu
Khordobeh, sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, “Al-Masalik Wal Mamalik”
bahwa masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang jujur, santun, terbuka,
toleran, kosmopolit, juga beragama dan multikultural (halaman 28).
KH.
Ma’ruf Amin dalam epilog buku ini menjelaskan Islam Nusantara secara cukup
komprehensif. Menurutnya, Islam Nusantara memililiki tiga pilar, yaitu
pemikiran (fikrah), gerakan (harakah), dan tindakan nyata (amaliah). Pilar
pertama meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Pilar kedua menekankan
bahwa semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada
perbaikan-perbaikan. Sedangkan pilar ketiga mengandaikan bahwa segala hal yang
dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada
fikih dan ushul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan
amaliah yang diperintah Al-Qur’an dan Sunah Nabi (halaman 221).
Bagi
Helmy, Indonesia dengan corak Islam Nusantaranya saat ini memiliki peluang
besar untuk menjadi kiblat keislaman dunia. Di saat negara lain sibuk dengan
konflik horizontal, sektarian, dan pemerintahannya, Indonesia justru sudah jauh
melesat menyuguhkan sebuah cara beragama yang damai, saling menghormati, tepa
selira, bertoleransi, dan juga saling mengisi (halaman 34).
*Tulisan ini sudah dimuat di Majalah PENDIS Kemenag Edisi No.11/Tahun VI/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar