![]() |
Kitab Bidayatul Mujtahid milik KH. Shodiq Hamzah, murid Kiai Muslih (UAA) |
Oleh Ulil Abshar Abdalla
Cendekiawan Muslim Indonesia
Setahu
saya, amat jarang kitab perbandingan mazhab karya Ibn Rusyd (w. 1198) yang
berjudul "Bidayatul Mujtahid" (atau dalam ejaan yang lebih akademis:
Bidâyat al-Mujtahid), diajarkan di pesantren tradisional di lingkungan NU.
Selain
karena kitab-kitab tentang perbandingan mazhab (muqâranat al-madzâhib) memang
jarang diajarkan di pesantren (umumnya, para santri hanya mempelajari
kitab-kitab fiqih Syafi'i), kitab Bidayah ini juga ditulis oleh ulama dari
mazhab lain, yaitu Maliki -- mazhab yang banyak diikuti di Maghrib atau Afrika
Utara. Itulah, menurut saya, yang menjelaskan kenapa kitab karya Ibn Rusyd ini
jarang diajarkan di pesantren.
Tetapi,
yang mengagetkan saya adalah bahwa Kiai Muslih bin Abdurrahman Mranggen, Demak
(wafat di Mekah pada 1981), kiai yang dijuluki "syaikh al-mursyidin"
(gurunya para mursyid tarekat di Jawa) ini, mengajarkan kitab Bidayatul
Mujtahid. Informasi ini saya peroleh melalui santrinya sendiri, yaitu Kiai
Shodiq Hamzah, pengasuh Pesantren Al-Shodiqiyyah, Semarang, saat saya "sowan"
kepada beliau kemaren (Jumat, 28/2/2020).
Kiai
Shodiq bahkan memperlihatkan kepada saya kitab Bidayatul Mujtahid yang sudah
"jenggotan", penuh dengan "sah-sahan" atau
terjemahan-antar-baris (interlinear translation) yang beliau peroleh saat ngaji
dengan Kiai Muslih. Kapan Kiai Muslih ngaji kitab Bidayah itu, Kiai Shodiq tak
lagi ingat. Yang jelas, kitab ini dibaca oleh beliau (Kiai Muslih) sebagai
"balahan ngaji kilat" selama bulan puasa. Artinya, bukan diajarkan
sebagai bagian dari kurikulum pokok yang dipelajari dan dikaji secara mendalam.
Untuk
beberapa saat, saya pernah ngaji online kitab Bidayatul Mujtahid ini, sekitar
dua tahun lalu. Tetapi, karena satu dan lain hal, akhirnya kegiatan ini
terhenti. Saya berniat untuk melanjutkannya suatu saat jika
"timing"-nya sudah tepat. Kitab ini jelas bukanlah bacaan untuk
santri tingkat awal atau menengah, melainkan untuk mereka yang telah mencapai
tingkat lanjut.
Dr.
Salim Aljufri (tokoh PKS) yang mengajarkan kitab ini kepada saya sekitar dua
puluh lima tahun lalu, pernah berujar: "Belajar kitab perbandingan mazhab
hanya akan efektif jika seseorang sudah punya landasan yang kokoh dalam satu
mazhab tertentu." Dengan kata lain, mengkaji kitab perbandingan mazhab tak
akan berguna banyak jika seseorang belum menguasai mazhab tertentu secara baik;
yang terjadi, orang itu akan "grayang-grayang" saja.
Saya
mengenal sosok Kiai Muslih pertama kali saat masih menjadi "santri
kluthuk" (santri kampungan) di desa Cebolek, Pati, sekitar awal 80an.
Beliau saya kenal melalui kitabnya yang sangat populer dan banyak dijual di
toko-toko kitab di sekitar kawasan pesantren. Kitab itu berjudul "al-Nur
al-Burhani" -- suatu terjemahan dalam bahasa Jawa atas "manaqib"
(sejarah hidup) Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. di Baghdad, 1166) yang banyak
dibaca dalam acara "manaqiban" di kalangan komunitas nahdliyyin.
Kitab manaqib yang masyhur itu berjudul "al-Lujain al-Dani" (judul
yang lain: "al-Jana al-Dani") karya seorang mursyid tarekat
Syadziliyyah dari Madinah yang hidup pada abad ke-18: Syekh Ja'far ibn Hasan
al-Barzanji (w. 1764).
Di
kalangan pesantren dan warga nahdliyyin, Imam al-Barzanji ini juga dikenal
melalui karyanya yang lain, yaitu kitab Maulid al-Barzanji (judul resminya
adalah: 'Iqd al-Jauhar fi Maulid al-Nabi al-Azhar) yang menjadi landasan bagi
berkembangnya tradisi barzanji yang amat populer di masyarakat Jawa itu. Di
kampung saya, tradisi ini disebut "Berjanjen".
Terjemahan
kitab manaqib karya Kiai Muslih Mranggen itu amat populer di lingkungan warga
nahdliyyin, hingga sekarang. Kitab ini masih dijual di toko-toko yang biasa
menyediakan literatur pesantren tradisional. Terakhir, saya menjumpai kitab
karya Kiai Muslih terbitan Karya Toha Putra, Semarang, itu di toko buku Asco,
Pekalongan. Ia ditulis tangan dengan menggunakan aksara Arab pegon -- praktek
yang lazim untuk semua kitab-kitab karya para ulama Jawa, Sunda, Madura, dan
daerah-daerah lain yang ditulis dengan akasara Arab pegon.
Kiai
Muslih umumnya lebih dikenal sebagai kiai tarekat dan masyhur sebagai
"syaikh al-mursyidin", gurunya para mursyid tarekat di Jawa Tengah.
"Jejuluk" atau sebutan ini tentu pas dinisbahkan kepada beliau,
sebab, bersama dengan sejumlah mursyid tarekat lain (seperti Kiai Hafidz
Rembang), beliau lah yang merintis berdirinya organisasi tarekat yang
belakangan dikenal sebagai JATMAN (Jamiyyah Ahlith Thariqah al-Muktabarah
al-Nahdliyyah) pada tahun 50an, pada saat NU dipimpin oleh Kiai Abdul Wahab
Chasbullah sebagai Rais Aam.
Kiai
Muslih sendiri adalah murysid tarekat al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah
(dikenal dengan inisial TQN; sosok mursyid TQN lain yang sangat populer di
tingkat nasional adalah Kiai Musta'in Romly, Rejoso, Jombang, yang wafat pada
1984, dan Abah Anom dari Suryalaya, Tasikmalaya, yang wafat pasa 2011). Kiai
Muslih juga dikenal sebagai pemberi ijazah kitab Dalail al-Khairat (kitab
kumpulan salawat Nabi yang juga ditulis oleh Imam al-Barzanji yang sudah
disebut di atas). Beliau memperoleh sanad kitab Dala'il itu dari Kiai Yasin,
Bareng, Kudus -- guru dari kakek saya, Kiai Muhammadun, Pondowan, Pati.
Selain
berguru kepada sejumlah kiai di Jawa, seperti Kiai Zubair Sarang (ayahanda dari
Kiai Maimoen Zubair), Kiai Maksum Lasem (ayahanda Kiai Ali Maksum Krapyak),
Kiai Dimyati Termas (kakak kandung dari Syekh Mahfudz Termas [w. 1920],
maha-guru ulama Jawa yang masyhur di Mekah itu), Kiai Muslih juga berguru
kepada Syekh Yasin al-Fadani (w. 1990) di Mekah.
Seperti
sudah saya tulis di atas, Kiai Muslih memang lebih dikenal sebagai "kiai
tarekat". Saat Kiai Shodiq Hamzah Semarang, murid Kiai Muslih langsung
itu, menginformasikan bahwa beliau pernah ngaji kitab Bidayatul Mujtahid, saya
agak kaget. Ngaji kitab karya Ibn Rusyd (di Eropa abad pertengahan, dikenal
sebagai Averroes) ini bukan hal yang lazim, apalagi bagi kiai tarekat.
Menurut
penuturan Kiai Shodiq, ia pernah ngaji beberapa kitab "besar" dengan
Kiai Muslih, hingga khatam. Kitab-kitab itu mencakup: al-Mahalli (kitab dalam
fiqih Syafii yang merupakan syarah atau komentar atas Minhaj al-Thalibin yang
masyhur karya Imam al-Nawawi), al-Muhazzab (kitab fiqh Syafii karya Abu Ishaq
al-Shirazi), Fath al-Mu'in, (kitab fiqh Syafii karya seorang ulama Malabar,
India: Syekh Zainuddin al-Malibari, murid langsung dari Imam Ibn Hajar
al-Haitami), Ihya' Ulum al-Din (kitab tasawwuf karya al-Ghazali), Jam'
al-Jawami' (tentang ushul al-fiqh atau filsafat hukum Islam), 'Uqud al-Juman
(tentang ilmu balaghah atau teori sastra Arab klasik), Dahlan Alfiyyah (syarah
atas nadzam Alfiyyah yang masyhur itu), dll.
Saya
kemudiah "menginterogasi" Kiai Shodiq agak lebih detil tentang
bagaimana Kiai Muslih ngaji Ihya'. Saya memang sedang mengumpulkan kisah-kisah
tentang bagaimana kitab Ihya' diajarkan di pesantren Jawa (semoga kelak menjadi
sebuah buku).
Kiai
Shodiq menuturkan: Kiai Muslih mengajarkan kitab Ihya' setiap hari, usai salat
subuh hingga pukul 7 pagi, dan mengkhatamkannya dalam waktu empat tahun. Kiai
Muslih cenderung untuk "ngaji cepat" dalam mengajarkan kitab ini,
sebagaimana yang beliau lakukan pada kitab Bidayatul Mujtahid. Maknanya: beliah
hanya membaca kata-demi-kata, memberikan makna sesuai tradisi bandongan yang
populer di pesantren, tanpa menerangkan dan mengulas secara mendalam kitab
bersangkutan.
Kiai
Shodiq sempat menunjukkan kepada saya foto-kopian kitab Ihya' yang sudah penuh
dengan "sah-sahan", alias terjemahan antar-baris, hasil ia mengaji
dengan Kiai Muslih. Sayang sekali, naskah asli kitab ini dipinjam oleh seorang
temannya dan tidak kembali. Untung saja, Kiai Shodiq masih sempat meng-kopi kitab
itu, sehingga "jejak" ngaji-nya dengan Kiai Muslih tak hilang sama
sekali.
Bagi
saya, Kiai Shodiq Hamzah Semarang ini sangat istimewa. Ia sendiri belajar dalam
waktu yang lama dengan Kiai Muslih, dan rajin mengarsipkan kitab-kitab yang
pernah ia pelajari dengan gurunya. Dia juga pernah belajar secara intensif
selama tiga tahun dengan Syekh Yasin al-Fadani di Mekah. Ia memperoleh semua
sanad-nya Kiai Yasin, selain Syekh Muhammad al-Maliki dan Syekh Abbas al-Maliki
-- kesemuanya adalah ulama-ulama di Mekah yang dihormati oleh kiai-kiai dari
Indonesia karena secara loyal dan "keras-kepala" masih merawat
tradisi Sunni, berhadapan dengan "gempuran ideologis" yang dahsyat
dari Wahabisme di Saudi Arabia.
Kiai
Shodiq mengarang banyak risalah dalam berbagai bidang ilmu, baik dalam bahasa
Arab, Jawa, atau Indonesia. Dalam hal ini, dia mengikuti jejak Kiai Muslih dan
Kiai Ahmad Mutohar (adik Kiai Muslih) -- kedunya adalah termasuk kiai yang
"prolifik", banyak menulis buku, terutama Kiai Ahmad Mutohar
(kitab-kitabnya masih banyak beredar di toko-toko buku di daerah Jawa).
Amat
disayangkan, bahwa saat ini tradisi mengarang di kalangan kiai Jawa kian
merosot. Perlu ada usaha untuk membangkitkan kembali tradisi ini di kalangan
kiai-kiai tradisional -- baik mengarang dalam bahasa Arab, bahasa daerah, atau
bahasa Indonesia. Hanya dengan cara inilih "intelektualisme
tradisional" ala pesantren yang amat berharga akan hidup terus. Inilah
satu-satunya tradisi intelektual Islam warisan dari era Imam Ghazali dulu yang
masih bertahan hingga sekarang di Indonesia.
Sayang sekali jika punah. Sekian.*Tulisan ini diambil dari Facebook Ulil Abshar Abdalla dan pertama kali dipost pada Sabtu (29/2/2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar