![]() |
Sumber: BMKG |
Oleh Arif Fathur Rahman
Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah
Tak terasa bulan Ramadan sebentar lagi akan
usai. Ibadah puasa yang dilaksanakan selama sebulan penuh akan segera
ditutup dengan agenda tahunan yang masyhur di Indonesia disebut dengan istilah
lebaran. Dalam bahasa Jawa kata lebaran berasal dari kata "wis bar"
yang berarti sudah selesai. Yaitu selesai menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadan dan "bar" sendiri adalah bentuk pendek dari kata
"lebar" dalam bahasa jawa yang artinya selesai.
Usut punya usut, istilah lebaran ini dulu dipopulerkan oleh
Walisongo yang menyadur dari istilah umat Hindu yang artinya hampir sama yaitu
"selesai". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah lebaran berarti
hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai
menjalankan ibadah puasa selama sebulan, atau dalam Islam disebut; Idulfitri.
Lebaran tahun ini yaitu 1 Syawal 1441 H akan
terasa sangat unik, karena idulfitri tahun ini terjadi ketika seluruh dunia
sedang dilanda pandemi global yaitu mewabahnya virus Corona (Covid-19).
Sehingga Pemerintahan Indonesia bahkan
Dunia melarang warganya untuk melaksanakan ibadah sholat i'd secara berjamaah
di masjid maupun di lapangan yang diganti dengan sholat i'd di rumah secara munfaridan.
Seperti yang kita ketahui hal ini dilakukan
untuk meminimalisir penularan virus Corona tersebut. Secara fiqih imbauan
tersebut sudah jelas kebolehannya, seperti yang dijelaskan Imam Nawawi dalam
kitab Majmu' bahwa dalam Madzhab Syafi'iyyah diperbolehkan sholat i'd
secara munfaridan di rumah, dengan tatacara seperti biasa tanpa disertai
dengan khotbah. Apalagi secara tegas Haiah Kibaril Ulama' Al-Azhar Mesir
juga turut memberikan fatwa agar seluruh umat Islam di dunia menunaikan ibadah
shalat i'd di rumah saja.
Tradisi Pesantren juga turut merasakan dampak
dari pandemi Corona tersebut, di mana tradisi sowan (silaturahmi) ke masyayikh
ketika lebaran kemungkinan juga akan ditiadakan. Sudah banyak kiai pesantren yang memberikan imbauan kepada santrinya untuk tidak sowan bersama
keluarga ketika lebaran nanti.
Hal ini bukan untuk memutus silaturahmi, tapi
lebih menjadi langkah preventif dari madhorot yang lebih banyak dari
manfaat bersilaturahmi. Di kalangan Pesantren sudah masyhur kaidah
"Darul mafasid muqoddamun a'la jalbil masholih" (menghindari
kemafsadatan lebih daidahulukan daripada mencari kemaslahatan).
Tapi di balik ujian yang kita hadapi sekarang ini, ada
sedikit angin segar yang mungkin bisa menjadi berita bahagia bagi umat Muslim di
Indonesia. Yaitu mengenai "problematika tahunan" tentang kapan
jatuhnya hari raya idulfitri 1 Syawal 1441 H. Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia sering terjadi
perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan Hijriyah antara Nahdhatul Ulama dengan Muhamadiyyah.
Dua organisasi besar ini ibarat dua kutub
magnet yang saling berlawanan jika berbicara mengenai penentuan awal bulan Hijriyah.
NU menggunakan madzhab rukyatul hilal, jika hilal (bulan baru) tidak
terlihat oleh mata, sekalipun dalam hitungannya tinggi hilal sudah memenuhi
kriteria dapat terlihat maka jumlah hari bulan tersebut akan diistikmalkan menjadi
30 hari.
Berbeda dengan Muhamadiyyah yang menggunakan
madzhab hisab wujudul hilal, jika dalam perhitungan hilal sudah di atas
ufuk sekalipun hilal tidak dapat terlihat sama sekali maka jumlah hari bulan tersebut akan tetap
diselesaikan dalam 29 hari. Sebenarnya pemerintah sudah memberikan jalan tengah
dengan membuat kriteria imkanur rukyah namun tetap saja solusi kriteria
tersebut belum bisa mengakomodir perbedaan dua ormas Islam terbesar di
Indonesia tersebut.
Pada idulfitri kali ini, berdasarkan data dari
hasil hisab posisi Bulan untuk hari
Jumat, 22 Mei 2020 M/29 Ramadan 1441 H tinggi Hilal berada pada posisi -4° di
bawah ufuk dan Ijtimak (konjungsi) akhir Ramadan 1441 H baru terjadi pada hari
Sabtu, 23 Mei 2020 M, sekitar tengah malam waktu Indonesia barat.
Dari data perhitungan tersebut dapat
dipastikan posisi hilal ketika hari Jumat 22 Mei tidak akan bisa terlihat
(rukyah) karena posisi hilal di hari tersebut masih berada di bawah ufuk, pun
jika ada yang mengaku berhasil melihat hilal
maka kesaksian orang tersebut akan ditolak.
Maka NU secara pasti akan menyempurnakan
bilangan hari Ramadan ini menjadi 30 hari. Sama halnya dengan Muhamadiyah, yang secara jelas menganut madzhab wujudul hilal. Karena
posisi Hilal yang di bawah ufuk dan konjungsi belum terjadi maka secara
otomatis Muhamadiyah juga akan menyempurnakan hari bulan Ramadan kali ini
menjadi 30 hari. Kesimpulannya, baik NU dan Muhamadiyyah untuk bulan Ramadan
1441 H ini akan diistikmalkan menjadi 30 hari, sehingga lebaran akan dirayakan
di hari yang sama yaitu Ahad, 24 Mei 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar