![]() |
sumber: Google |
Oleh Arif Fathur Rohman
Pengurus Pondok Pesantren Futuhiyyah
Siapa yang tak kenal dengan Khalifah Harun
al-Rasyid. Beliau adalah salah satu khalifah terbaik dalam sejarah Daulah
Dinasti Abbasiyyah. Di bawah kepemimpinan beliau Islam ketika itu mencapai masa
keemasannya (The Golden Age of Islam).
Bahkan, kota Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia karena di
kota tersebut berdiri sebuah lembaga
penelitian bernama “Baitul Hikmah”.
Di balik kesuksesannya sebagai pemimpin, Harun al-Rasyid adalah
khalifah yang cinta kepada ulama dan gemar bersedekah. Beberapa riwayat mengatakan setiap tahun
hampir ratusan ulama beserta anak-anaknya beliau berangkatkan haji ke Makah dan
sekitar 1000 dirham beliau keluarkan tiap tahun untuk membantu rakyat yang tak
mampu.
Tak ada gading yang tak retak, sesukses dan
sesaleh apapun seorang pemimpin pasti memiliki sisi kebijakan maupun karakter
yang tak sesuai dengan hati rakyatnya. Ibarat kata, raja tetaplah raja, sekalipun
ia adalah orang yang saleh pekertinya tetap saja ketika bertemu rakyat ia harus
duduk di atas singgasana sedangkan rakyat harus bersimpuh di bawahnya.
Suatu hari, ketika Khalifah Harun al-Rasyid
sedang tawaf di Kakbah datang seorang pemuda mendekatinya. Tanpa
basa-basi pemuda ini membuka pembicaraan dengan sang khalifah. Ia berkata, "Ya Amiral Mu'minin, aku adalah salah satu rakyatmu. Aku
datang menemuimu untuk membicarakan suatu hal, yang akan aku katakan kepadamu ini
adalah suatu nasihat dan aku harap engkau akan mendengarkan nasihatku ini. Tapi
agaknya nasihatku ini akan sedikit kasar (ekstrem)."
Mendengar ucapan pemuda tersebut, Harun
al-Rasyid marah. Bahkan sang Khalifah hampir mengusir pemuda tersebut. Beliau
berkata, "Uskut Ya Jahil! (diam kamu bodoh!), tak sepantasnya engkau berkata demikian kepadaku."
Kemudian beliau kembali berkata, dengan sebuah
maqolah yang dicatat sejarah sebagai sebuah nasehat yang mahal harganya.
"Sungguh Allah pernah mengutus hamba yang
lebih baik dari engkau (Musa as), kepada manusia yang lebih hina daripada aku
(Fira'un)."
Tapi Allah masih menyuruh Musa as berdakwah
kepada Fir'aun dengan ucapan yang lembut. Kemudian Khalifah mengutip ayat
al-Qur'an surat Thaha ayat 44;
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ
أَوْ يَخْشَىٰ
"Maka berbicaralah kamu berdua (Musa
& Harun) kepadanya (Fira'un) dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Belum sempat meneruskan pembicaraannya, pemuda
tersebut lantas pergi meninggalkan sang khalifah. Ia tampak malu dan takut, ia
tak menyangka bahwa Khalifah Harun al-Rasyid yang akan ia beri nasihat adalah
sosok yang alim dan bijaksana.
Kisah ini pertama kali saya dengar dari
ceramah Gus Baha (KH. Bahaudin Nur Salim) di Youtube. Dalam ceramah
tersebut beliau menisbatkan kisah ini kepada Raja Harun al-Rasyid.
Tapi sebelum mendengar ceramah Gus Baha, saya pernah mendengar cerita yang sama
tapi dengan versi yang berbeda. Di versi lain yang pernah saya dengar, tokoh
dari cerita tersebut adalah khalifah al-Ma'mun. Beliau al-Ma'mun adalah putra
dari Harun al-Rasyid, yang menjadi penerus Dinasti Abbasiyyah setelah Harun
al-Rasyid.
Saya kemudian tertarik untuk mencari referensi dari mana kisah ini diambil. Dari penelusuran yang saya lakukan,
ternyata kisah ini memang memiliki dua versi tokoh. Salah satunya terdapat di
dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah atau yang sering disebut dengan
kitab Tarikh Ibnu Katsir karangan Isma'il bin Umar bin Katsir al-Dimasqi
(Ibnu Katsir). Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menisbatkan kisah tersebut kepada Harun al-Rasyid. Aidh al-Qarni dalam bukunya Durus
li A'idh al-Qarni juga menuliskan nama Harun al-Rasyid dalam kisah
tersebut.
Sedangkan untuk cerita versi al-Ma'mun dapat
ditemui di kitab Iiqaadh Uli al-Himam al-A'liyah karangan Abdul Aziz
al-Muhammadi dan kitab Sarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah karya Muhammad
bin Musthafa al-Khadimi.
Dari kisah di atas kita bisa mengambil hikmah
dan pelajaran hidup. Islam mengajarkan untuk selalu menjaga adab/akhlak ketika
berbicara dengan orang lain. Apalagi jika lawan bicara kita adalah pemimpin
kita sendiri. Di zaman yang serba modern ini, bukan tak mungkin kita bisa
berbicara "langsung" dengan pemimpin (Presiden, Menteri, Gubernur, dsb) melalui media sosial yang kita miliki sebut saja Fb,
Instagram, twitter.
Boleh saja kita mengkritik kebijakan pemimpin
yang tidak sesuai dengan pendapat kita, tapi sesuai yang diajarkan oleh
al-Quran; "Fa qụlā lahụ qaulal layyinal" (maka ucapkanlah kepadanya dengan perkataan
yang lembut). Jangan sampai kritik yang kita sampaikan dengan memuat perkataan
yang tidak baik, apalagi dengan ucapan yang kasar atau bahkan sampai
mencaci-maki. Nauzdu billahi tsumma naudzu billah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar